PENGUMUMAN UNNES

BERITA UNNES

Wednesday, July 21, 2010

Anak Kampoeng nGomong

APA YANG SALAH? Atau………..

Ketika awal masuk perguruan tinggi ada orang yang bertanya
…………………………..
Z ; Ambil program studi apa le…?
Jawab aQ : PPKn bapak
Sambung lagi orang yang bertanya tadi kuliah koq ambil PPKn mau jadi apa? (sambil agak tertawa)

Selain itu, juga banyak temen-temen dari jurusan lain ketika kenalan
……………
A : Mas ambil prodi apa?
Jawab aQ ; PPKn
A : Ooh PPKn (sambil agak ngece)
Lagi lagi apa yang salah

……………………………………………….
Perlu kita ketahui bersama pasca ORBA berganti dengan munculnya Reformasi seolah-olah pancasila sudah dilupakan oleh bangsa ini. Memang suatu kenyataan ada yang sinis apabila ada orang yang mengatakan pancasila, menyindir, tertawa atau bahkan mengejek.

Selain itu, setelah lengser ORBA berganti Reformasi di sekolah SD, SMP, SMA mata pelajaran PPKn diganti menjadi Pend. Kewarganegaraan. PPKn yang semula di ujian nasionalkan menjadi tidak. Perguruan tinggi yang semula mengajarkan pendidikan pancasila kepada mahasiswanya dihilangkan, ada yang mau dihilangkan, bahkan ada yang memang tidak mengajarkan pendidikan pancasila pada kurikulum perkuliahannya. Semua itu apakah memang dari ketidak tahuan masyarakat atau…….

Tetapi juga masih beruntung dalam suatu upacara-upacara masih mengucapkan pancasila, masih ada perguruan tinggi yang mengajarkan pendidikan pancasila dan mengajarkan filsafat pancasila misalnya Universitas Negeri Semarang.

Secara jelas terlihat ada kekacauan pengetahuan dalam memahami pancasila. kondisi tersebut menunjukkan adanya distorsi pengetahuan dari founding father kepada anak bangsa tentang filosofi dan kepribadianya sendiri atau……….
Tidak tahu karena memang tidak memiliki pengetahuan atau memang memiliki kesesatan dalam memahami hal tersebut. dalam hal ini adalah memahami pancasila.
Kekacauan pengetahuan (epistemology mistake) tersebut harus segera diluruskan.
DITEMUKAN ada kekacauan pengetahuan dalam memahami pancasila.

Kekacauan pengetahuan dalam memahami pancasila setidaknya ada tiga hal;
1. Kekacauan dalam memahami antara nilai, norma dan praksis.
Nilai merupakan kualitas yang melekat pada suatu hal yang berguna, berharga, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.
Pendiri bangsa pada tanggal 18 Agustus 1945 setelah melakukan perdebatan pada hari-hari sebelumnya tentang perumusan dasar negara yang pas untuk bangsa indonesia yang memiliki banyak suku, bangsa, bahasa, kepercayaan, budaya dan lain-lain, Founding Fathers menetapkan bahwa Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara, sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia dan tercantum dalam tertib hukum Indonesia. Konsekuensinya Pancasila tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, dan dalam pengertian inilah maka menurut Notonagoro Pembukaan yang memuat Pancasila itu sebagai Staatsfundamental norm. Konsekuensinya nilai-nilai pancasila, secara yuridis harus diderivasikan ke dalam UUD negara Indonesia dan selanjutnya pada seluruh peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam kapasitas ini Pancasila telah diderivasikan dalam suatu norma-norma dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.
Berdasarkan norma-norma peraturan perundang-undangan tersebut dapat diimplementasikan realisasi kehidupan kenegaraan yang bersifat praksis. Oleh karena itu tidak mungkin implementasi dilakukan secara langsung dari Pancasila kemudian direalisasikan dalam berbagai konteks kehidupan, karena harus melalui penjabaran dalam suatu norma yang jelas. Banyak kalangan memandang hal tersebut secara rancu seakan-akan memandang Pancasila itu secara langsung bersifat operasional dan praksis dalam berbagai konteks kehidupan masyarakat.

2. Menyamakan nilai-nilai Pancasila dengan suatu kekuasaan, rezim atau suatu orde.
Hal ini dapat ditangkap dalam konteks politik bahwa berbicara Pancasila seakan-akan sebagai label Orde Baru, identik dengan kekuasaan Soeharto, dan celakanya seakan-akan terjadi suatu indoktrinasi. Fakta sejarah menunjukkan kepada kita bahwa tatkala Orde Baru berkuasa Pancasila diturunkan derajatnya sebagai suatu legitimasi politis. Semua kebijakan pemerintah mengatasnamakan Pancasila, bahkan diistilahkan sebagai “suatu pelaksanaan Pancasila yang murni dan konsekuen”. Kemudian setelah bangsa Indonesia melakukan reformasi dan menimpakan kesalahan itu semua kepada penguasa Orde Baru, maka serta merta dalam dunia politik berbicara Pancasila seakan-akan identik dengan ingin mengembalikan kewibawaan Orde Baru. Jikalau kita mengkaji sejarah secara objektif, sebenarnya pada zaman Orde Lama-pun juga terjadi penyimpangan dengan mengembangkan Nasakom, Manipol Usdek, Tri Sila dan Eka Sila. Oleh karena itu hal ini secara epistemologis harus diluruskan Pancasila sebagai dasar filsafat negara, sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia harus dibedakan dengan kekuasaan suatu rezim atau orde yang justru menyalahgunakan Pancasila. Akibatnya dewasa ini banyak kalangan bahkan kalangan elit politik sendiri enggan untuk berbicara Pancasila, karena tidak akan membawa popularitas politis bahkan dapat dituduh sebagai Neo Orde Baru.

3. Memahami dan meletakkan Pancasila sebagai suatu varian yang setingkat dengan agama, atau dengan lain perkataan suatu kesesatan kategori.
Dalam diskursus hubungan agama dengan negara, kalangan politik yang mendasarkan pada pemikiran negara agama, memandang Pancasila sebagai suatu penghalang bahkan mengancam agama. Sebagai suatu contoh dalam buku Reformasi Prematur, menganggap bahwa Pancasila sebagai penghalang agama bahkan menga-jarkan kemusyrikan, sebagaimana menyembah berhala. Dalam buku tersebut diungkapkan sebagai berikut:
Begitu pentingnya memantapkan kesakralan serta karakter Pancasila, maka Pancasila-pun mengisyaratkan bahwa kesadaran akan Tuhan itupun bukan milik siapapun secara khusus. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang mampu melingkupi Kristen, Islam, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Pada ungkapan lain penulis mengemukakan bahwa Pancasila telah menjadi berhala, yang diungkapkan sebagai berikut:
Pancasila telah menjadi berhala yang dipertuhankan oleh seluruh rakyat Indonesia. Semua dosa penyembahan berhala ini harus ditanggung secara personal oleh Soeharto, Soekarno dan semua pengikut sadarnya atau antek-anteknya (Chaedar, 1998: 37).
Selain itu diungkapkan oleh Thalib dan Anwas, dalam Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: Manguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers Republik Indonesia (1999: xxxiii), sebagai berikut:
Soekarno telah berhasil memadukan aspirasi para pemimpin Islam pada masa pendirian negara yang menginginkan negara berdasarkan Islam, dengan cara memasukkan Ketuhanan sebagai salah satu silanya. Ketuhanan model Pancasila ini, kombinasi dari banyak Tuhan dan bermacam-macam kepercayaan yang bernaung di bawah Pancasila. Dalam ide konsepsi ini agaknya ingin berdiri sebagai wakil kepercayaan seluruh umat beragama di negeri ini. Dan dalam perkembangan berikutnya, penguasa ingin mencari kepastian hukum atas keinginan tersebut, yang pada gilirannya, melahirkan doktrin asas tunggal dengan tujuan pokok adalah: “Mempancasilakan umat beragama”. Menurut Abdullah Patani dalam bukunya ‘Freemasonry di Asia Tenggara’ bahwa terdapat kesamaan antara sila-sila Pancasila dengan Khams Qanun Zionis, begitu pula dengan San Min Chui Dr. Sun Yat Sen di China, Pridi Banoyong di Thailand, dan Andres Bonivasio di Filipina. Oleh karena itu terdapat kemungkinan bahwa ideologi Pancasila adalah diilhami oleh ideologi Zionisme dan Freemasonry (Thalib dan S. Awwas, 1999: 185).
Kekacauan epistemologis seperti ini akan membawa konsekuensi yang serius terghadap proses revitalisasi, reaktualisasi serta implementasi nilai-nilai Pancasila. Pancasila adalah hasil pemikiran bangsa Indonesia yang besar yang setingkat dengan pemikiran-pemikiran besar lainnya seperti, sosialisme, liberalisme, sekulerisme, pragmatisme dan isme-isme lainnya. Oleh karena itu Pancasila adalah merupakan suatu budaya dan bukannya agama. Dalam filsafat Pancasila tidak pernah membahas tentang Tuhan, meskipun sila pertama adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’, sebab The Founding Fathers kita adalah orang biasa dan bukannya seorang Nabi. Tatkala meletakkan dasar-dasar pemikirannya para pendiri negara kita menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, oleh karena itu negara Indonesia tidak mungkin didirikan dengan sistem atheisme, sekulerisme atau liberalisme. Oleh karena bangsa Indonesia memiliki kebebasan dalam memeluk agama dan negara tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai agama, maka para pendiri negara menentukan dan memilih pemikiran “ Negara adalah Berketuhanan Yang maha Esa”. Jadi oleh karena itu sangatlah naif dan menyesatkan jikalau Pancasila itu mengajarkan Ketuhanan, dan jikalau hal itu dipublikasikan dan dibaca serta dipahami oleh masyarakat maka hal itu tidak lebih telah menyebarkan fitnah.
Jikalau hal ini berlangsung terus maka kita justru akan melakukan kesalahan sebagaimana yang dilakukan oleh orde-orde sebelumnya. Apapun yang terjadi pada bangsa dan negara Indonesia, maka nilai-nilai Pancasila secara objektif ada pada bangsa Indonesia. Selama kita masih mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa yang berketuhanan (bangsa yang religius) dalam kehidupan kenegaraan, bangsa yang berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan (demokrasi), serta bangsa yang berkeadilan sosial, maka secara objektif kita bernegara dengan dasar filsafat Pancasila.


PUSTAKA
Prof. Dr. Suyahmo, M.Si, 2005. Filsafat Pancasila. Paparan kuliah Jurusan Hukum dan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Prof. Dr. Kaelan, M.S, 2009. Relasi Negara dan Agama Dalam Persfektif Filsafat Pancasila. Disampaikan pada kongres pancasila I di Universitas Gajah Mada Jogjakarta 30 mei-1 juni 2009